Rabu, 16 Desember 2009

Keterbuakan Membuat segalanya Indah

> Sebuah kisah salah pengertian yg mengakibatkan kehancuran
> sebuah rumah tangga.
> Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah terbuka, tetapi
> segalanya sudah terlambat. Membawa nenek utk tinggal bersama
> menghabiskan masa tuanya bersama kami, malah telah
> mengkhianati ikrar cinta yg telah kami buat selama
> ini,setelah 2 tahun menikah, saya dan suami setuju menjemput
> nenek di kampung utk tinggal bersama.
>
> Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya, dia adalah
> satu-satunya harapan nenek, nenek pula yg membesarkannya dan
> menyekolahkan dia hingga tamat kuliah.
> Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera menyiapkan
> sebuah kamar yg menghadap taman untuk nenek, agar dia dapat
> berjemur, menanam bunga dan sebagainya. Suami berdiri
> didepan kamar yg sangat kaya dgn sinar matahari, tidak
> sepatah katapun yg terucap tiba-tiba saja dia mengangkat
> saya dan memutar-mutar saya seperti adegan dalam film India
> dan berkata: "Mari,kita jemput nenek di kampung".
>
> Suami berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan
> kepalaku ke dadanya yg bidang, ada suatu perasaan nyaman dan
> aman disana. Aku seperti sebuah boneka kecil yg kapan saja
> bisa diangkat dan dimasukan kedalam kantongnya. Kalau
> terjadi selisih paham diantara kami, dia suka tiba-tiba
> mengangkatku tinggi-tinggi diatas kepalanya dan
> diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan baru
> diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu.
>


> Kebiasaan nenek di kampung tidak berubah. Aku suka sekali
> menghias rumah dengan bunga segar, sampai akhirnya nenek
> tidak tahan lagi dan berkata kepada suami:"Istri kamu
> hidup foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa
> dimakan?" Aku menjelaskannya kepada nenek: "Ibu,
> rumah dengan bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman
> dan suasana hati lebih gembira". Nenek berlalu sambil
> mendumel, suamiku berkata sambil tertawa: "Ibu, ini
> kebiasaan orang kota , lambat laun ibu akan terbiasa
> juga."
>
> Nenek tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku
> pulang sambil membawa bunga, dia tidak bisa menahan diri
> untuk bertanya berapa harga bunga itu, setiap mendengar
> jawabanku dia selalu mencibir sambil
> menggeleng-gelengkan kepala. Setiap membawa pulang barang
> belanjaan,dia selalu tanya itu berapa harganya, ini berapa.
> Setiap aku jawab, dia selalu berdecak dengan suara keras.
> Suamiku memencet hidungku sambil berkata: "Putriku, kan
> kamu bisa berbohong. Jangan katakan harga yang
> sebenarnya." Lambat laun, keharmonisan dalam rumah
> tanggaku mulai terusik.
>
> Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun
> pagi menyiapkan sarapan pagi untuk dia sendiri, di mata
> nenek seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang
> sangat memalukan. Di meja makan, wajah nenek selalu cemberut
> dan aku sengaja seperti tidak mengetahuinya. Nenek selalu
> membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti sumpit dan
> sendok, itulah cara dia protes.
>
> Aku adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat
> badanku sangat letih, aku tidak ingin membuang waktu
> istirahatku dengan bangun pagi apalagi disaat musim dingin.
> Nenek kadang juga suka membantuku di
> dapur, tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot,
> misalnya: dia suka menyimpan semua kantong-kantong bekas
> belanjaan, dikumpulkan bisa untuk dijual katanya. Jadilah
> rumahku seperti tempat pemulungan kantong plastik,
> dimana-mana terlihat kantong plastik besar tempat semua
> kumpulan kantong plastik.
>
> Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak
> menggunakan cairan pencuci, agar supaya dia tidak
> tersinggung, aku selalu mencucinya sekali lagi pada saat dia
> sudah tidur. Suatu hari, nenek mendapati aku sedang mencuci
> piring malam harinya, dia segera masuk ke kamar sambil
> membanting pintu dan menangis. Suamiku jadi serba salah,
> malam itu kami tidur seperti orang bisu, aku coba
> bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak perduli. Aku
> menjadi kecewa dan marah."Apa salahku?" Dia
> melotot sambil berkata: "Kenapa tidak kamu biarkan
> saja? Apakah memakan dengan piring itu bisa membuatmu
> mati?"
>
> Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg culup
> lama, suasana menjadi kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk,
> tidak tahu harus berpihak pada siapa? Nenek tidak lagi
> membiarkan suamiku masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu
> bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya, suatu
> kebahagiaan terpancar di wajahnya jika melihat suamiku makan
> dengan lahap, dengan sinar mata yang seakan mencemohku
> sewaktu melihat padaku, seakan berkata dimana tanggung
> jawabmu sebagai seorang istri?
> Demi menjaga suasana pagi hari agar tidak terganggu, aku
> selalu membeli makanan diluar pada saat berangkat kerja.
> Saat tidur, suami berkata:"Luci, apakah kamu merasa
> masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak
> pernah makan di rumah?" sambil memunggungiku dia
> berkata tanpa menghiraukan air mata yg mengalir di kedua
> belah pipiku. Dan dia akhirnya berkata: "Anggaplah ini
> sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap
> pagi". Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yg
> serba canggung itu.
>
> Pagi itu nenek memasak bubur, kami sedang makan dan
> tiba-tiba ada suatu perasaan yg sangat mual menimpaku,
> seakan-akan isi perut mau keluar semua. Aku menahannya
> sambil berlari ke kamar mandi, sampai disana aku segera
> mengeluarkan semua isi perut. Setelah agak reda, aku melihat
> suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi dan memandangku
> dengan sinar mata yg tajam, diluar sana terdengar suara
> tangisan nenek dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku
> terdiam dan terbengong tanpa
> bisa berkata-kata. Sungguh bukan sengaja aku berbuat
> demikian!
> Pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat
> dengan suamiku, nenek melihat kami dengan mata merah dan
> berjalan menjauh…… suamiku segera mengejarnya keluar
> rumah.
>
> Menyambut anggota baru tetapi dibayar dengan nyawa nenek.
> Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga
> meneleponku. Aku sangat kecewa, semenjak kedatangan nenek di
> rumah ini, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi?
> Entah kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan nafsu
> makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku yang kacau,
> sungguh sangat menyebalkan. Akhirnya teman sekerjaku
> berkata:"Luci, sebaiknya kamu periksa ke dokter".
> Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil. Aku baru
> sadar mengapa aku mual-mual pagi itu. Sebuah
> berita gembira yg terselip juga kesedihan. Mengapa suami
> dan nenek sebagai orang yg berpengalaman tidak berpikir
> sampai sejauh itu?
>
> Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku, 3 hari
> tidak bertemu dia berubah drastis, muka kusut kurang tidur,
> aku ingin segera berlalu tetapi rasa iba membuatku tertegun
> dan memanggilnya. Dia melihat ke
> arahku tetapi seakan akan tidak mengenaliku lagi, pandangan
> matanya penuh dengan kebencian dan itu melukaiku. Aku
> berkata pada diriku sendiri, jangan lagi melihatnya dan
> segera memanggil taksi. Padahal aku
> ingin memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki
> seorang anak. Dan berharap aku akan diangkatnya
> tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku minta ampun
> tetapi..... mimpiku tidak menjadi kenyataan. Didalam taksi
> air mataku mengalir dengan deras. Mengapa kesalah pahaman
> ini berakibat sangat buruk?
>
> Sampai di rumah aku berbaring di ranjang memikirkan
> peristiwa tadi, memikirkan sinar matanya yg penuh dengan
> kebencian, aku menangis dengan sedihnya. Tengah malam,aku
> mendengar suara orang membuka laci, aku menyalakan lampu dan
> melihat dia dgn wajah berlinang air mata sedang mengambil
> uang dan buku tabungannya. Aku nenatapnya dengan dingin
> tanpa berkata-kata. Dia seperti tidak melihatku saja dan
> segera berlalu. Sepertinya dia sudah memutuskan utk
> meninggalkan aku. Sungguh lelaki yg sangat picik, dalam saat
> begini dia masih bisa membedakan antara cinta dengan uang.
> Aku tersenyum sambil menitikan air mata.
>
> Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin
> secepatnya membereskan masalah ini, aku akan membicarakan
> semua masalah ini dan pergi mencarinya di kantornya.Di
> kantornya aku bertemu dengan seketarisnya yg melihatku
> dengan wajah bingung."Ibunya pak direktur baru saja
> mengalami kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di rumah
> sakit. Mulutku terbuka lebar. Aku segera menuju rumah sakit
> dan saat menemukannya, nenek sudah meninggal. Suamiku tidak
> pernah menatapku, wajahnya kaku. Aku memandang jasad nenek
> yg terbujur kaku... Sambil menangis aku menjerit dalam hati:
> "Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?"
> Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah
> bertegur sapa denganku, jika memandangku selalu dengan
> pandangan penuh dengan kebencian.
>
> Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang lain,
> pagi itu nenek berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau
> kembali ke kampung. Suamiku mengejar sambil berlari, nenek
> juga berlari makin cepat sampai tidak
> melihat sebuah bus yg datang ke arahnya dengan kencang. Aku
> baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh dengan
> kebencian. Jika aku tidak muntah pagi itu, jika kami tidak
> bertengkar, jika............ dimatanya, akulah penyebab
> kematian nenek.
>
> Suamiku pindah ke kamar nenek, setiap malam pulang kerja
> dengan badan penuh dengan bau asap rokok dan alkohol. Aku
> merasa bersalah tetapi juga merasa harga diriku
> terinjak-injak. Aku ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan
> salahku dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera
> mempunyai anak. Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak
> pernah menjelaskan masalah ini. Aku rela dipukul atau
> dimaki-maki olehnya
> walaupun ini bukan salahku. Waktu berlalu dengan sangat
> lambat. Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal
> satu sama lain. Dia pulang makin larut malam. Suasana tegang
> didalam rumah.
>
> Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah café, melalui
> keremangan lampu dan kisi-kisi jendela, aku melihat suamiku
> dengan seorang wanita didalam. Dia sedang menyibak rambut
> sang gadis dengan mesra. Aku tertegun dan mengerti apa yg
> telah terjadi. Aku masuk kedalam dan berdiri di depan mereka
> sambil menatap tajam kearahnya. Aku tidak menangis juga
> tidak berkata apapun karena aku juga tidak tahu harus
> berkata apa. Sang gadis melihatku dan ke arah suamiku dan
> segera hendak berlalu. Tetapi dicegah oleh suamiku dan
> menatap kembali ke arahku dengan sinar mata yg tidak kalah
> tajam dariku. Suara detak jantungku terasa sangat keras,
> setiap detak suara seperti suara menuju kematian.
>
> Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka, jika
> tidak.. mungkin aku akan jatuh bersama bayiku dihadapan
> mereka. Malam itu dia tidak pulang ke rumah. Seakan
> menjelaskan padaku apa yang telah terjadi. Sepeninggal
> nenek, rajutan cinta kasih kami juga sepertinya telah
> berakhir. Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu
> pulang ke rumah, aku mendapati lemari seperti bekas
> dibongkar.
> Aku tahu dia kembali mengambil barang-barang keperluannya.
> Aku tidak ingin menelepon dia walaupun kadang terbersit
> suatu keinginan untuk menjelaskan semua ini. Tetapi itu
> tidak terjadi........., semua berlalu begitu saja.
>
> Aku mulai hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang
> diri. Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check
> kandungan bersama, hati ini serasa hancur. Teman-teman
> menyarankan agar aku membuang saja bayi ini, tetapi aku
> seperti orang yg sedang histeris mempertahankan miliknya.
> Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek bahwa aku
> tidak bersalah.
>
> "Suatu hari pulang kerja, aku melihat dia duduk
> didepan ruang tamu. Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada
> selembar kertas diatas meja, tidak perlu tanya aku juga tahu
> surat apa itu. 2 bulan hidup sendiri, aku sudah bisa
> mengontrol emosi. Sambil membuka mantel dan topi aku berkata
> kepadanya: "Tunggu sebentar, aku akan segera menanda
> tanganinya". Dia melihatku dengan pandangan awut-awutan
> demikian juga aku. Aku berkata pada diri sendiri, jangan
> menangis, jangan menangis. Mata ini terasa sakit sekali
> tetapi aku terus bertahan agar air mata ini tidak keluar.
>
> Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan
> ternyata dia memperhatikan perutku yg agak membuncit. Sambil
> duduk di kursi, aku menanda tangani surat itu dan
> menyodorkan kepadanya."Luci, kamu hamil?" Semenjak
> nenek meninggal, itulah pertama kali dia berbicara kepadaku.
> Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yg mengalir keluar
> dengan derasnya. Aku menjawab: "Iya, tetapi tidak
> apa-apa. Kamu sudah boleh pergi". Dia tidak pergi,
> dalam keremangan ruangan kami saling berpandangan.
> Perlahan-lahan dia membungkukan badannya ke tanganku, air
> matanya terasa menembus lengan bajuku. Tetapi di lubuk
> hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal yg sudah pergi dan
> tidak bisa diambil kembali.
> Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata:
> "Maafkan aku, maafkan aku". Aku pernah berpikir
> untuk memaafkannya tetapi tidak bisa. Tatapan matanya di
> cafe itu tidak akan pernah aku lupakan. Cinta diantara kami
> telah ada sebuah luka yg menganga. Semua ini adalah sebuah
> akibat kesengajaan darinya.
>
> Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah
> berlalu tidak akan pernah kembali. Hanya sewaktu memikirkan
> bayiku, aku bisa bertahan untuk terus hidup. Terhadapnya,
> hatiku dingin bagaikan es, tidak pernah menyentuh semua
> makanan pemberian dia, tidak menerima semua hadiah
> pemberiannya tidak juga berbicara lagi dengannya. Sejak
> menanda tangani surat itu, semua cintaku padanya sudah
> berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.
>
> Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku,
> aku segera berlalu ke ruang tamu, dia terpaksa kembali ke
> kamar nenek. Malam hari, terdengar suara orang mengerang
> dari kamar nenek tetapi aku tidak perduli. Itu adalah
> permainan dia dari dulu. Jika aku tidak perduli padanya, dia
> akan berpura-pura sakit sampai aku menghampirinya dan
> bertanya apa yang sakit. Dia lalu akan memelukku sambil
> tertawa terbahak-bahak. Dia lupa........, itu adalah dulu,
> saat cintaku masih membara, sekarang apa lagi yg aku miliki?
>
> Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang
> mengerang sampai anakku lahir. Hampir setiap hari dia selalu
> membeli barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan
> anak-anak dan buku-buku bacaan untuk anak-anak. Setumpuk
> demi setumpuk sampai kamarnya penuh sesak dengan
> barang-barang. Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku tetapi
> aku tidak bergeming. Terpaksa dia mengurung diri dalam
> kamar, malam hari dari kamarnya selalu terdengar suara
> pencetan keyboard komputer. Mungkin dia lagi tergila-gila
> chatting dan berpacaran di dunia maya pikirku. Bagiku itu
> bukan lagi suatu masalah.
>
> Suatu malam di musim semi, perutku tiba-tiba terasa sangat
> sakit dan aku berteriak dengan suara yg keras. Dia segera
> berlari masuk ke kamar, sepertinya dia tidak pernah tidur.
> Saat inilah yg ditunggu-tunggu olehnya. Aku digendongnya dan
> berlari mencari taksi ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia
> mengenggam dengan erat tanganku, menghapus keringat dingin
> yg mengalir di dahiku. Sampai di rumah sakit, aku segera
> digendongnya menuju ruang bersalin. Di punggungnya yg kurus
> kering, aku terbaring dengan hangat dalam dekapannya.
> Sepanjang hidupku, siapa lagi yg mencintaiku sedemikian rupa
> jika bukan dia?
>
> Sampai dipintu ruang bersalin, dia memandangku dengan
> tatapan penuh kasih sayang saat aku didorong menuju
> persalinan, sambil menahan sakit aku masih sempat tersenyum
> padanya. Keluar dari ruang bersalin, dia memandang aku dan
> anakku dengan wajah penuh dengan air mata sambil tersenyum
> bahagia. Aku memegang tangannya, dia membalas memandangku
> dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu terjerambab ke
> lantai. Aku berteriak histeris memanggil namanya.
>
> Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka
> matanya…… aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan
> sebutir air matapun untuknya, tetapi kenyataannya tidak
> demikian, aku tidak pernah merasakan sesakit seperti saat
> ini. Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada stadium
> mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan
> sebuah mukjizat. Aku tanya kapankah kanker itu terdeteksi? 5
> bulan yg lalu kata dokter, bersiap-siaplah menghadapi
> kemungkinan terburuk. Aku tidak lagi peduli dengan nasehat
> perawat, aku segera pulang ke rumah dan ke kamar nenek lalu
> menyalakan komputer.
>
> Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar apa
> adanya, aku masih berpikir dia sedang bersandiwara……
> Sebuah surat yg sangat panjang ada di dalam komputer yg
> ditujukan kepada anak kami. "Anakku, demi dirimu aku
> terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah
> harapanku... Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi
> semua bentuk kebahagiaan dan kekecewaan, sungguh bahagia
> jika aku bisa melaluinya bersamamu tetapi ayah tidak
> mempunyai kesempatan untuk itu. Didalam komputer ini, ayah
> mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap segala
> kemungkinan hidup yg akan kamu hadapi. Kamu boleh
> mempertimbangkan saran ayah. "Anakku, selesai menulis
> surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup selama
> bertahun-tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia
> sungguh menderita, dia adalah orang yg paling mencintaimu
> dan adalah orang yg paling ayah cintai".
>
> Mulai dari kejadian yg mungkin akan terjadi sejak TK , SD ,
> SMP, SMA sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap
> didalamnya. Dia juga menulis sebuah surat untukku.
> "Kasihku, dapat menikahimu adalah hal yg paling bahagia
> aku rasakan dalam hidup ini. Maafkan salahku, maafkan aku
> tidak pernah memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau
> kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya. Kasihku, jika
> engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau telah
> memaafkan aku. Terima kasih atas cintamu padaku selama ini.
> Hadiah-hadiah ini aku tidak punya kesempatan untuk
> memberikannya pada anak kita... Pada bungkusan hadiah
> tertulis semua tahun pemberian padanya".
>
> Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku
> menggendong anak kami dan membaringkannya diatas dadanya
> sambil berkata: "Sayang, bukalah matamu sebentar saja,
> lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang dan
> hangatnya pelukan ayahnya". Dengan susah payah dia
> membuka matanya, tersenyum.......... anak itu tetap dalam
> dekapannya, dengan tangannya yg mungil memegangi tangan
> ayahnya yg kurus dan lemah. Tidak tahu aku sudah menjepret
> berapa kali momen itu dengan kamera di tangan sambil berurai
> air mata..................
>
> Teman2 terkasih, aku sharing cerita ini kepada kalian, agar
> kita semua bisa menyimak pesan dari cerita ini. Mungkin saat
> ini air mata kalian sedang jatuh mengalir atau mata masih
> sembab sehabis menangis, ingatlah
> pesan dari cerita ini: "Jika ada sesuatu yg mengganjal
> di hati diantara kalian yg saling mengasihi, sebaiknya
> utarakanlah jangan simpan didalam hati".
> Siapa tau apa yg akan terjadi besok? Ada sebuah pertanyaan:
> Jika kita tahu besok adalah hari kiamat, apakah kita akan
> menyesali semua hal yg telah kita perbuat? atau apa yg telah
> kita ucapkan? Sebelum segalanya
> menjadi terlambat, pikirlah matang2 semua yg akan kita
> lakukan sebelum kita menyesalinya seumur hidup.



Selengkapnya...

blogger templates | Make Money Online