oleh : Widi Yarmanto | widi@gatra.com
[Perspektif, Gatra Nomor 35 Beredar Kamis, 13 Juli 2006]
Judul itu saya “pungut” dari Dokter Tan Shot Yen.
Suatu siang, di Bumi Serpong Damai, Tangerang, tempat
praktek dia, sepasang oma-opa berobat. Oma tersebut
stroke, jalannya tertatih-tatih. Ia mengeluh perut
mual kalau makan.
Kontan Dokter Yen menyimpulkan, pasti makan
sembarangan. “Buang makanan sampah itu,” katanya. Buat
apa dikonsumsi kalau cuma jadi penyakit. Jangan makan
nasi, terigu, kacang-kacangan, umbi-umbian, gula,
pemanis buatan, kecap, dan saus. Ganti daging merah
dengan daging ayam atau ikan.
Dari makanan, Yen menyoal perawatan. “Mana anak Oma,”
tanyanya. “Bekerja di luar kota,” ujar si Oma. Jawaban
itu kontan mengaduk-aduk emosi dokter wanita yang
energik tersebut. “Kalau ada pasien begini 10 saja,
dokternya bisa mati duluan,” kata dia lantang.
Lalu ia meminta agar si anak disuruh bekerja di
Jakarta saja. Buat apa mencari duit banyak kalau
orangtua ditelantarkan. “Itu namanya ‘dosa
metropolitan’. Keliru! Masak anak butuhnya kalau mau
nikah supaya direstui. Orangtua hanya dipajang untuk
menerima tamu,” kata Yen.
Oma itu diam, tapi air matanya mengalir. Sebagai
lansia, mungkin dia merasa yang tersisa cuma
“menghitung hari tua”. Toh disalahkan pula. Lansia itu
identik dengan sakit-sakitan, tak produktif, plus
kesepian. Tiada anak yang merawat, tiada kawan berbagi
rasa. Ia tenggelam dalam kesedihan.
Terlebih kala Dokter Yen mengatakan bahwa anak
“produk” metropolitan selalu merasa diri telah
berbakti. Telah memenuhi kebutuhan makan dan sandang
orangtua secara sempurna. Sopir tersedia, bisa
mengantar ke mana saja. Memang, siang itu, pasangan
oma-opa tadi ditemani seorang sopir. Salah besar!
“Tahu nggak, sih, anak yang berbakti pada orangtua
tidak akan jauh dari rezeki. Ada saja rezeki dari
Tuhan. Hidupnya dilapangkan,” kata Dokter Yen, yang
ruang prakteknya terbuka sehingga puluhan pasien lain
bisa nguping “kuliah”-nya. “Suruh dia kemari, biar
saya ceramahin,” ia melanjutkan.
Omongan Yen benar walau pedas. Bisa jadi, kita memang
acap menciptakan “dosa metropolitan” tanpa sadar. Kita
kurang berkorban pada orangtua, pada lingkungan.
Kebaikan itu seolah tertutup oleh ribuan selubung.
Kita memburu duit karena khawatir pada masa depan yang
belum pasti.
Buntutnya, semua dikalkulasi secara materi. Mau
berbuat baik pun ditindas oleh diri sendiri: “Ngapain
repot-repot.” Bukannya di-support: “Kan, bisa
mengurangi beban orang lain. Mengikis pementingan diri
secara arif.” Bukankah ustad sering bilang: “Derajat
paling tinggi dalam kedermawanan adalah mengutamakan
orang lain.”
Tampaknya istilah “tidak ada makan siang yang gratis”
benar-benar mengerosi hingga memiskinkan rasa. Apalagi
ditambahi pemahaman bahwa orang lansia itu punya dunia
tersendiri yang sulit diikuti. Lansia dipenuhi kesan
yang tak mengenakkan dan sukar dilupakan.
Maka, khususnya pada orang Cina, tulis Yoseph Tulus
Swandjaja, 83 tahun, dalam Tetralogi Kehidupan Lansia,
Catatan Harian Nonitje, mereka sering disebut bo taw
lo –diucapkan dalam nada agak merendahkan, bahkan
menghina– yang berarti tidak punya kegiatan, tidak
punya penghasilan, dan identik dengan malas.
Jika “dosa metropolitan” dan bo taw lo itu dipadukan,
seakan klop. Beberapa hari lalu, tetangga saya yang
tinggal di rumah petak kontrakan dihebohkan oleh bau
tak sedap. “Kayak bau bangkai tikus,” ujar seseorang.
Tetangga lain berucap: “Kayak septic tank.” Sumber bau, busuk itu tak ketemu.
Belakangan ada yang curiga, karena rumah petak yang
dihuni seorang wanita tua itu pintunya tertutup empat
hari. Pintu diketuk, tiada sahutan. Terpaksa didobrak.
Benar, wanita itu telah meninggal tanpa ketahuan siapa
pun. Sanak familinya tak jelas. Ya, semua orang bak
dikejar derap metropolitan.
“Dosa metropolitan” lain adalah “membuang” uang receh
di jalanan. Secara tak langsung kita telah
menjerumuskan anak jalanan di Jabotabek ke dalam
jurang ketidakberdayaan. Berdasar data Komisi
Perlindungan Anak, jumlah anak jalanan di Jabotabek
mencapai 75.000.
Mereka, hanya dengan menengadahkan tangan,
menepuk-nepuk kedua tangan, atau menyapukan kemoceng
di kaca mobil, memperoleh pendapatan per hari Rp
20.000-Rp 30.000 tiap anak. Beda tipis dengan gaji
lulusan diploma. Jika angka Rp 20.000 dikalikan
75.000, diperoleh angka Rp 1,5 milyar per hari. Luar
biasa.
Begitu mudah mereka mendapat duit. Bisa jadi, kitalah
yang membetahkan mereka di jalanan. Penelitian oleh
sejumlah LSM menyebutkan, uang hasil anak-anak
marjinal itu sebagian tidak dipakai untuk mendukung
peningkatan kesejahteraan mereka. Untuk apa?
Dipakai jajan berada di peringkat pertama. Main
dingdong atau main elektronik lain di urutan kedua.
Dan terakhir disetor ke orangtua atau inang/senior
sebagai pelindung mereka di jalanan. Bahkan, berdasar
obrolan warung kopi, anak-anak usia belasan tahun itu
mulai mengonsumsi narkoba. Cilaka!
Maka, tak berlebihan jika salah satu program Unicef
adalah: hentikan memberi uang kepada anak-anak
jalanan! Kita harus berhenti memanjakan mereka.
Apalagi, beberapa anak mulai tererosi perilaku buruk:
sorot mata sinis, mulut mengumpat, dan mulai ada unsur
memaksakan kehendak. Tak mustahil bakal mengancam.
Sebuah e-mail dari Sahabat Anak menawarkan solusi:
berikan mereka nutrisi bergizi! Mulai sekarang,
sediakan dalam tas atau mobil Anda: biskuit, permen,
buah, susu kotak, yang langsung bisa diberikan begitu
tangan-tangan kecil itu menengadah. Kita bisa menjadi
sahabat anak tiap saat.
Ya, kita harus jadi penerang bagi orang-orang yang
berjalan dalam kegelapan. Kita harus memiliki sikap
yang benar dalam kehidupan –kalau ingin maju– tanpa
menyalahkan siapa pun. Tiap orang pasti punya sisi
yang dapat dicela.
Asosiasi Guru Ekonomi Indonesia
15 tahun yang lalu